Rabu, 23 Februari 2011

KETIKA SANG PROKLAMATOR TERPESONA DENGAN ULAMA KARISMATIK LOMBOK


and nation building* itu akan berkunjung ke Mataram, Lombok untuk meresmikan
Kantor Gubernur Nusatenggara Barat (NTB) sebuah Propinsi yang belum lama
berdiri. Agenda perjalannya adalah untuk mengobarkan semangat revolusi
disela upacara peresmian lalu ketemu dengan para pejabat Mataram dengan
memberikan* brifing* seperlunya..

Namun di tempat lain di luar kota Matraman terdapat sebuah pesantren yang
dipimpin oleh seorang Tuan Guru yang kharismatik bernama Tuan Guru Saleh
Hambali. Pada suatu pagi sang Tuan guru  mengatakan pada santrinya, bahwa
beberapa minggu mendatang Presiden Soekarno akan mampir pondok pesantrenanya
di desa Bengkel, karena itu mereka diharuskan mempersiapkan segala
sesuatunya, tidak hanya menata pesantren, tetapi juga memperbaiki jalanan
menuju pesantren itu. Siang malam mereka bekerja sehingga jalan menjadi rapi
dan bisa dimasuki kendaraan yang ditumpangi prsiden dengan para pengawalnya.

Dengan sendirinya segera menyebarlah berita itu keseluruh Mataram, semua
kalangan santri dan pengurus NU yang sangat hormat pada Tuan guru itu, tanpa
banyak tanya langsung mengadakan persiapan sebisanya. Sementara para
tokoh-tokoh Masyumi, yang tahu agenda kunjungan presiden itu tidak percaya
kalau presiden Soekarno akan mampir ke pesantren itu, lagi pula hingga saat
itu Soekarno tidak kenal dengan TGH Saleh Hambali, di tambah jadwal dia yang
sangat padat. Kalangan Masyumi sama sekali tidak percaya dengan ramalan itu,
itu hanya igauan, orang NU mau percaya dan mengikuti perintahnya karena
mereka tidak rasional, penuh mistik dan khurafat..

Walaupun menghadapi berbagai ledekan bahkan cemoohan dari kelompok
Masyumi-Wahabi, sebagai kelompok tidak rasional yang begitu saja kepada Kiai
atau tuan gurunya tanpa melihat kondisi riil seorang presiden. Sementara
kalangan NU bersikap petuah TGH Saleh Hambali itu harus diamankan dengan
mengatakan kepada para pendukungnya,"*kita tunggu saja apa yang  terjadi dan
akan  kita buktikan  kewalian guru kita pada mereka*" Demikian salah seorang
kiai muda menangkis ejekan kelompok Wahabi.

Memang hingga beberapa hari menjelang pelaksanaan agenda protokoler tidak
ada jadwal Presiden Soekarno ke pondok, tetapi oleh TGH Saleh Hambali sudah
disiapkan Podium penyambutan dan  jamuan ala kadarnya. Semakin besar
persiapan yang dibuat, semakin kencang cacian yang diterima warga NU, bahkan
TGH Soleh Hambali diolok-olok sebagai orang gila oleh orang yang tidak suka.
Semua warga NU menerima cacian itu dengan tabah, meski sangat menyakitkan,
sebab guru yang mereka muliakan itu selama ini selalu benar terkaannya,
sebagai seorang ulama yang *waskitho *yang *ngerti sak durunge
winarah*(mengetahui sebelum terjadi).

Ketika *forreders* pengawal  presiden dari bandara Selaparang Ampenan hendak
menuju kota Mataram, melewati jalur desa Bengkel, maka semua santri disuruh
keluar oleh sang Kai berbaris di pinggir jalan dengan membawa spanduk yang
sudah disiapkan sambil membaca isi spanduk yang bertuliskan ayat al-Qur'an "
*fa ammal yatima fala taqhar, wa amma sya ila fala tanhar*".

Di luar dugaan, tiba-tiba  rombongan presiden dengan mobil yang beriringan
langsung membelokkan mobilnya ke arah pesantren yang langsung menuju rumah
kiai. Ketika bertemu mereka berpelukan akrab, seolah saling berkenalan
sebelumnya. Soekarno bercengkerama dengan ramah. Melihat raut wajahnya yang
tawadlu, tetapi menyimpan karakter yang kuat, membuat bung Karno terpesona
pada Tuan Guru, tipe ulama kharismatik semacam itu diperlukan sebagai garda
revolusi.

Saat itu juga presiden dipersilahkan memberikan sambutan, maunya Bung Karno
pidato di atas mobil kepresidenan, tetapi sang Tuan Guru memintanya pidato
di atas  podium yang telah disiapkan, Bung Karno setuju dengan saran Tuan
Rumah. Dalam pidato itu Bng Karno memuji peran NU dalam pembentukan Propinsi
Baru itu dan diharapkan memberikan dukungan penuh dari gangguan pemberontak
DI-TII yang mungkin diselundupkan ke Lombok. Dan memuji kebesaran tuan guru
Hanbali yang mepesona dirinya.

Tidak urung peristiwa bersejarah tersebut semakin memperkuat legitimasi
politik NU, yang berhasil menarik perhatian Soekarno dan menghadirkan ke
tempat terpencil itu, tanpa diundang. Tetapi seolah ada ikatan batin, yang
memang ketejaman batin itulah yang menghubungkan Soekarno dengan para kiai
di pesantren sejak masa sebelum revolusi, maka dalam situasi genting
revolusi, ketika dalam pengejaran sekutu pada tahun 1945, ia tidak mengungsi
di benteng angkatan perang, melainkan mengungsi di sebuah pesantren
Sukanegara yang terpencil di Cianjur.

Setelah memberikan sambutan Bung Karno tidak segera pulang, karena terpesona
oleh ilmu Sang Tuan Guru, maka ia ingin menggali lebih banyak keilmuan dari
Sang Tuan Guru, sehingga ia harus menunda peresmian kantor Gubernuran dan
sekaligus melantik sang gubernur Baru, karena Bung karno bermalam di
pesantren Bengkel, baru besok paginya peresmian kantor Gubernur NTB
dilaksanakan. Pertemuan dengan sang Guru itu diangap penting sebagai benteng
pemersatu bangsa, yang tidak hanya dicintai tetapi ditaati oleh rakyat,
sebagai factor pemersatu.

 Kepercayaan masyarakat terhadap  kewalian TGH Soleh Hambali Bengkel semakin
menguat, dengan terbuktinya beberapa penglihatan sang Tuan Guru yang
makrifat itu menunjukkan kebenarannya. Bahkan Bung Karno sendiri mengakui
kewalian sang Tuan Guru, terbukti dengan mau berguru kepadanya. Peristiwa
itu seolah membungkam caci-maki kelompok Masyumi, baik terhadap pribadi Tuan
Guru Hanbali maupun terhadap warga NU yang diangap tak rasional. Tetapi Bung
Karno sendiri menunjukkan peran besar NU dalam membangun bangsa ini.

Sejak itu nama TGH Saleh Hambali semakin terkenal, kharismanya juga semakin
mneguat. Demikian juga reputasi NU semakin berkibar. Pondok pesantren yang
diimpinnya semakin dipercaya orang, karena kualitasnya, sehingga ponduk
Bengkel semakin hari semakin membesar. Walaupun pondok itu saat ini sudah
tua, tetapi kebesaran sejarahnya tidak pernah dilupakan orang.  maka saat
ini   setiap bulan selalu dilaksanakan Isthigosah dan berbagai macam
pengajian.[]



Tidak ada komentar:

Posting Komentar